KH Samanhudi

CENTRAL JAVAINDONESIASOLO,SURAKARTA

Napak Tilas Samanhudi

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya.” ucap Bung Karno saat merayakan Hari Pahlawan pada tahun 1961. Mereka yang berani dan rela berkorban demi membela kebenaran layak disebut pahlawan. Meski kini kebenaran semakin lama semakin susah ditelaah.

Lambat laun terasa susah membedakan benar atau salah karena kejujuran semakin mahal harganya. Susah membedakan antara keikhlasan dan akting karena semua dianggap pencitraan. Pada akhirnya pahlawan daerah yang dulu dikenang mulai tergeser oleh “pahlawan politik” dadakan yang meramaikan rak-rak di toko buku.

Mungkin kebanyakan pejalan yang singgah di Solo hanya mengenal sosok Slamet Riyadi yang kini namanya diabadikan sebagai jalan utama di Kota Solo. Belum menguak jasa Mayor Achmadi yang punya peran tak jauh penting saat melawan Belanda di Pertempuran Empat Hari Surakarta, kisahnya bisa dibaca di sini. Belum greget dengan peran KGPAA Mangkunegoro VII yang punya andil besar terhadap sejarah RRI di Indonesia. Atau bahkan tidak pernah tahu siapa H. Samanhudi?

Foto keluarga H Samanhudi ( Samanhudi -tiga dari kiri )

Jadi siapa sebenarnya Haji Samanhudi? Terlahir sebagai anak dari pengusaha batik H. Muh. Zein di Laweyan, Solo pada tahun 1868 dengan nama Sudarno Nadi. Seakan sudah menjadi tradisi bahwa anak juragan batik harus meneruskan usaha orang tuanya. Usaha batik yang dijalankan oleh Wiryo Wikoro, nama lain dari Samanhudi berjalan sukses, memiliki ratusan pegawai, membuahkan keuntungan rata-rata 800 gulden per hari – angka yang besar zaman itu.

Persaingan antar pedagang batik pun menjadi semakin ketat. Dikisahkan pengusaha batik Tionghoa dibantu Belanda berusaha memonopoli jalur perdagangan batik. Terjadi kesenjangan yang dibumbui provokasi demi provokasi. Akhirnya Samanhudi mendirikan sebuah organisasi yang menampung pedagang batik pribumi dengan tujuan melawan tekanan dari Belanda serta memperjuangkan nasib mereka agar menjadi lebih baik.

koleksi di Museum Samanhudi

Sarekat Dagang Islam ( SDI ) resmi berdiri pada tahun 1905 dengan Samanhudi sebagai pemimpin organisasinya. Kesuksesan SDI menyebar dan meluas dengan cepat, terbukti dengan munculnya cabang-cabang SDI yang ada di beberapa kota. Atas dorongan beberapa pengurus dan anggota, sejak tahun 1912 SDI yang kian ditakuti oleh Belanda berubah menjadi partai politik dengan nama baru Sarekat Islam ( SI ) yang dipimpin oleh ketua baru asal Surabaya bernama HOS Tjokroaminoto.

Partai semakin besar, jumlah awal anggota sekitar 80.000 orang saat konggres pertama tahun 1913 meningkat jadi 480.000 anggota di tahun 1918. Terhitung sejak tahun 1920, Samanhudi mulai melepas jabatannya di partai seiring dengan kesehatannya yang memburuk. Namun perjuangannya membela masyarakat dari tekanan kolonial tidak putus sampai di situ. Tercatat pernah membentuk Barisan Pemberontakan Indonesia dan Gerakan Persatuan Pancasila untuk melawan Belanda, serta membentuk laskar Gerakan Kesatuan Alap-Alap yang bertugas menyediakan bahan makanan untuk para pejuang saat Agresi Militer Belanda II di Solo ( Desember 1948 ).

Haji Samanhudi telah wafat pada 28 Desember 1956 dan dimakamkan di Desa Banaran, Sukoharjo. Untuk mengenang jasa beliau, Presiden Soekarno memberinya gelar Pahlawan Nasional pada tahun 1960 serta memberikan hadiah sebuah rumah hasil rancangannya. Jasanya juga masih dikenang oleh warga Sondakan yang menampung koleksi museum dan dokumentasi tentang Samanhudi di Kelurahan Sondakan. Ya tak salah baca, ada museum di kelurahan. Sebelumnya Museum Samanhudi didirikan dan dikelola oleh Yayasan Warna Warni milik Nina Akbar Tanjung di rumah bekas keluarga Samanhudi yang terletak di Laweyan.

bekas Museum Samanhudi

Sayangnya beberapa tahun kemudian terjadi masalah sengketa tempat sehingga museum ditutup dan koleksi dipindah ke Kelurahan Sondakan dan beberapa dipajang di salah satu boutique hotel milik Bu Nina yang bernama Roemahkoe. Kini pengunjung yang tertarik mengenal lebih dekat sosok Samanhudi bisa mengunjungi Museum Samanhudi di Kelurahan Sondakan untuk membaca sejarah dan kiprahnya di dunia perdagangan serta politik lengkap dengan dokumentasi milik keluarga.

Tahun 2014 lalu, untuk ke-empat kalinya warga Sondakan mengadakan Napak Tilas Samanhudi dengan maksud mengenang dan mengingatkan kembali jasa-jasa Haji Samanhudi kepada generasi muda. Event berlangsung selama tiga hari, hari pertama ziarah ke makam Samanhudi, kemudian sarasehan di hari kedua, diakhiri dengan kirab di hari terakhir.

Gunungan diarak, perwakilan dari setiap RT dan RW yang berkreasi dengan batik, potrait Samanhudi dibawa keliling kelurahan Sondakan dan Laweyan. Itulah kemeriahan Napak Tilas Samanhudi yang diadakan oleh Kelurahan Sondakan. Sayangnya belum memiliki kepastian tanggal penyelenggaraan setiap tahunnya sehingga menyulitkan wisatawan yang tertarik menghadirinya.

( INFO: Napak Tilas Samanhudi 2015 diadakan tanggal 21- 23 Agustus 2015 )

Rasanya tak ada kata-kata lain selain mengucapkan terima kasih atas jasa-jasa para pahlawan nasional yang mungkin asing di telinga. Rasanya sudah saatnya mengenal pahlawan dari daerah asalmu, terdengar sepele tapi penting. Sekali lagi bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya ( bukan pahlawan dadakan buatan media yang memenuhi rak di toko buku ). 😉


 Repost from HALIM SANTOSOonAUGUST 15, 2015

(source :https://jejakbocahilang.wordpress.com/2015/08/15/napak-tilas-samanhudi/) 

Komentar